Subhanallah !! Tak Disangka Orang Ini Bisa Bicara dengan Orang Mati, Baca Beritanya..
KH.Muh Thohiir atau yang lebih dikenal
dengan nama Imam Lapeo, adalah seorang wali termasyhur di Tanah Mandar
Sulawesi Barat dan Sulwesi Selatan. Beliau menguasai banyak cabang ilmu
Islam seperti fiqh tasawwuf, hadits, dll. Di bawah bimbingan para ulama
khususnya dari Saadah ALAWIYYIN atau Ahlul bait Rasulullah SAW yang di
Mandar lebih dikenal dengan istilah “Tuan Sayyid”, yang diserap dalam
bahasa Mandar menjadi Puang Sayyid. Syek Fath beliau yang utama adalah
Al Habib As Sayyid Alwy bin Abdillah bin Sahl Jamalullail.
Dari beliaulah Kiyai Haji Muhammad
Thohir mengambil Ilmu dan Sanad Ilmu Tasawwuf. Keturunan Habib Alwy Bin
Sahl Jamalullail banyak ditemukan di Sulawesi Barat hingga kini. Bahkan
Habib Hasan putra dari Habib Alwy Bin Sahl menjadi Mufti di daerah
Sulawesi saat itu setelah menuntut Ilmu di Makkah Almukarromah selama 30
tahun.
Hubungan Guru dengan Murid
Habib Alwy merupakan guru dari Imam
Lapeo. Imam lapeo yang nama aslinya Junaihin Namli, diganti namanya
dengan sebutan Muhammad Thahir ketika menjadi murid beliau. Pernah suatu
ketika Habib Alwy bin Sahil mengajak beberapa orang termasuk Imam Lapeo
untuk “berhalwat” (mengasingkan diri dari khalayak ramai) di suatu
tempat, dan dari sekian banyak orang itu, Imam Lapeo satu-satunya yang
dapat bertahan menerima cobaan-cobaan yang muncul pada saat berhalwat
dan Habib Alwy bin Sahil berkata kepadanya :
“Kamu telah lulus, segala ilmu dzohir dan hakikat ada padamu, dan kita bersaudara dunia akhirat”.
Ungkapan kedua tokoh agama ini tidak
hanya berlaku pada keduanya tapi sampai kepada anak cucu dan
keturunannya masih tetap terjalin persaudaraan dan silaturrrahmi dengan
baik.
Pernah juga suatu ketika rombongan Habib
Alwi beserta murid-muridnya dari Pambusuang datang ke kampong
Lalikountuk menyebarkan agama islam sempat mendapat kendala dari warga
setempat dengan menembaki rombongan dengan senapan. Melihat keadaan
tersebut, Imam Lapeopergi menghadapi mereka, seraya berkata :
“Kalian telah melakukan perbuatan yang sia-sia dan konyol serta pengecut, menembaki habib yang tak bersenjata, itu bukan perbuatan laki-laki sejati, jika ada yang berani hadapilah aku.”
Lalu tampaklah seorang dari mereka yang berani menantang beliau, kemudian beliau berkata :
“Silahkan tusuk saya dengan tombakmu itu
sebanyak tujuh kali, selesai itu giliran saya menusukmu dengan tombak
sebanyak tujuh kali pula.”
Ternyata orang itu tidak kuasa melukai
(karena bantuan Allah SWT) walau sudah berusaha sekuat tenaga hingga
putus asa. Lalu tibalah giliran Imam Lapeo untuk menusuk sebanyak tujuh
kali pula. Beliau memegang tombak itu dengan gagah berani, namun dalam
hatinya tiada terbetik kecuali kematian dan tiada lagi kehidupan apabila
benar-benar beliau berkehendak menusuknya. Di saat beliau menatap orang
itu, beliau menampakkan rasa kasih sayang dan menjatuhkan tombak itu
dan memaafkannya. Dengan kekuasaan Allah, hati orang itu digerakkan
bersama kelompoknya menyatakan tunduk, patuh dan menjadi pengikutnya.
Melihat hal itu, Habib Alwi meminta
supaya Imam lapeo lah yang membina dan mengasuh masyarakat itu,
mengeluarkan dari jurang kebodohan dan dari keterbelakangan kepada
pelaksanaan syariat islam yang sebenar-benarnya. Habib Alwi memberikan
isyarat bahwa tempat ini menjadi tempat utama bagi beliau yang akan
datang, Habib lalu merestui dan mendo’akan.
K.H. Muhammad Thahir adalah ulama
kharismatik di tanah mandar, lahir pada tahun 1838 M. Beliau seorang
imam di desa lapeo yang sederhana dan menyebarkan agama islam sampai
ketanah bugis.
Keluarga Imam Lapeo berakar dari sebuah
kampung tua yang sejak dulu menjadi tanah kelahiran tokoh-tokoh di Tana
Mandar. Kampung itu bernama Pambusuang. Seorang tokoh nasional yang
pernah lahir di kampung ini adalah Almarhum Baharuddin Lopa (mantan
Jaksa Agung RI). Pambusuang saat ini sudah menjadi kota kecamatan
Pambusuang dalam wilayah Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Propinsi
Sulawesi Barat.
Ayahanda Imam Lapeo bernama H.Muhammad
bin Abd.Karim bin Aba Talha. Ayahanda Imam Lapeo mempunyai dua saudara
yakni yang dikenal dengan panggilan Kanne Paung dan Kanne Kina. Kanne
Paung tidak memiliki keturunan sedangkan Kanne Kina kemudian mempunyai
anak cucu yang berkembang di Pambusuang sebagai sepupu-sepupu Imam
Lapeo. Sedangkan ibunda Imam Lapeo bernama Siti Rajiah berasal dari
keturunan hadat Tenggelang, sebuah wilayah yang saat ini berada di
Kecamatan Campalagian Kab. Polman. Sebagaimana dalam silsilah keturunan
yang paternalistik, silsilah keturunan Ibu kurang dikembangkan sehingga
sampai saat ini belum ada yang mencoba menggambarkan sepupu-sepupu Imam
lapeo dari garis Ibu.
Dalam kehidupannya Imam Lapeo telah menikah sebanyak enam kali. Tiga dari perkawinan beliau tidak mendapatkan anak keturunan.
Imam Lapeo sukses dalam dakwahnya
sehingga mereka bertaubat, dan inilah yang menjadi salah satu alasan
nama masjidnya Masjid Jami’ At-Taubah Lapeo, kemudian dialihkan namanya
masjid Nuruttaubah Lapeo.
Dalam menyebarkan agama Islam berbagai
cara yang ditempuh oleh Imam Lapoe, dimana ia menarik perhatian
masyarakat atau orang di sekitarnya dalam mengajarkan agama, secara
bartahap beliau mengikuti kebudayaan-kebudayaan yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut.
Beliau mengajak masyarakat sekitar
membangun mesjid tetapi dalam kenyataannya tak semudah dibayangkan. Imam
Lapeo harus berhadapan dengan maraknya perjudian, ramainya warga Mandar
yang masih mabuk-mabukkan dengan minuman kebanggaannya adalah Manyang
Pai’(Tuak).
Masyarakat sendiri secara bertahap
menghilangkan kebiasaan yang mereka lakukan. Bukan hanya dengan mengajak
masyarakat di sekitarnya membangun masjid, tapi Imam Lapeo juga sering
bertamu di rumah masyarakat jika sedang berjalan-jalan dan juga
terkadang masyarakat mendatangi rumah beliau untuk meminta doa dan
petunjuk jika ada masalah yang mereka hadapi atau mempunyai keinginan.
Beliau juga terkenal dengan sikap
dermawannya sampai-sampai beliau berhutang jika ada masyarakat yang
memerlukan bantuan. Hal ini dituturkan oleh penulis sejarah Imam
Al-Lapeo.
Dalam buku yang memuat tentang
perjalanan hidup Imam Lapeo yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri
Syarifuddin Muhsin, ada 74 karama’ (kelebihan) dalam kisah hidup Imam
Lapeo. Sebagian di antaranya, menyelamatkan orang tenggelam, melerai
perkelahian di Parabaya, menghentikan penyiksaan KNIL, jadi perlindungan
Arajang Balanipa, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut
tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, mengatasi pendoti-doti
(guna-guna), sholat Jum’at pada tiga tempat pada waktu bersamaan,
menebang kayu dengan tangisan bayi.
Peran Imam Lapeo, tidak terlepas dengan
karamah kesufian yang ada pada dirinya. Misalnya, tangannya kebal
terhadap api. Diceritakan, selama belajar di hadapan Sayyid Alwi bin
Sahil Jamalulail, Imam Lapeo juga bertindak sebagai penuntun unta
terhadap gurunya dalam berbagai perjalanan.
Saat sang guru Sayyid Alwi bin Sahil
Jamalulail bersama muridnya Imam Lapeo melakukan perjalanan antara
Mekkah dan Madinah, karena keamanan di jalan kurang terjamin, mereka
singgah istirahat dan berkemah di jalanan. Ketika itu, sang gurunya
mengetahui Imam Lapeo mengisap rokok. Sang Guru langsung mengambil rokok
tersebut dari tangannya, dan rokok yang terbakar itu ditekankan ke
telapak tangan muridnya. Dalam keadaan demikian, Imam Lapeo tidak
merintih dan tidak merasakan kesakitan, malah hal itu dibiarkannya
sampai semuanya selesai.
Sementara, pengalaman pertama Imam Lapeo
ketika baru saja berada di Mandar, adalah penduduk setempat mencoba
mengujinya, melakukan semacam permainan berbahaya. Waktu itu, Imam Lapeo
sedang khutbah di atas mimbar pada hari Jumat, dan bersamaan itu pula
muncul suatu gumpalan api yang sangat tajam cahayanya.
Gumpalan api yang pada mulanya laksana
sebutir telur yang sinarnya sangat tajam itu, tiba-tiba menjadi besar
dan bergerak dari depan dengan kencangnya menuju ke hadapan Imam Lapeo.
Pada saat menentukan, dan sejengkal lagi gumpalan api itu mengenai
mukanya, Imam Lapeo hanya bergerak dengan isyarat matanya. Akhirnya
gumpalan api itu menyingkir dari hadapannya dan mengenai tembok di
belakang mimbar. Tembok masjid tersebut hancur rata dengan tanah.
Kisah lain adalah, Imam Lapeo
menundukkan ular. Suatu ketika, Imam Lapeo diundang mengahadiri pesta
walimah di Tapalang, daerah Mamuju. Ketika resepsi makan dimulai,
tiba-tiba muncul ular-ular di piringnya yang ingin digunakannya untuk
makan. Ular-ular tersebut, tiada lain dari orang tertentu yang konon
kabarnya ingin mempermalukan Imam Lapeo di tengah pesta.
Karomah yang lain Imam Lapeo waktu itu
sekitar tahun 60an masjid lapeo sedang dibangun disamping makam lapeo
namun terhambat masalah dana akhirnya tidak lama kemudian datang
beberapa unit truck dari makassar membawa semen pasir dan beberapa bahan
bangunan yang lain, warga sekitar heran karena tidak ada satupun dari
mereka yang memesan apalagi dana tidak ada. Mereka memutuskan untuk
membicarakannya di rumah salah satu warga di sana,ketika ditanyakan
tentang siapa orang misterius yang memesan bahan bangunan ini,si supir
mengatakan bahwa yang memesan adalah seorang kakek berpakaian serba
putih bersorban dan kebetulan si supir melihat foto imam lapeo yang ada
di lama rumah warga tersebut,dan mengatakan bahwa orang itulah yang
memesan bahan bangunan.
Imam Lapeo sebagai ulama sufi yang
tawadhu, hanya menyaksikan ular-ular itu meliuk-liukkan badannya, sampai
akhirnya jumlah ular bertambah banyak dan meloncat-loncat. Walhasil,
hanya dengan mengancam ular-ular itu dengan memberi isyarat, maka dengan
seketika ular-ular tadi hilang dengan sendirinya.
Selain itu, sepeninggalan beliau, hingga
saat ini, kuburannya banyak didatangi orang. Ada suatu kaedah dalam
kewalian dan kesufian yang menyatakan seorang waliyullah apabila nampak
karamah (keluarbiasaan) pada waktu hidupnya pada dirinya. Maka akan
nampak pula keramat pada waktu sesudah matinya.
Seorang sufi, apabila dikunjungi orang
pada waktu hidupnya, maka dikunjungi pula banyak orang sesudahnya
matinya/makamnya. Hal inilah yang terjadi pada diri Imam Lapeo, dimana
kuburannya dikunjungi oleh banyak orang, terutama pada hari-hari
tertentu, misalnya pada saat-saat sebelum pemberangkatan dan setelah
kembali dari tanah suci Mekkah.
Walaupun kiprah dan perjuangan Imam
Lapeo sering direduksi dan dibumbui dengan hal-hal yang berbau
supranatural seperti cerita tentang kemampuannya berada di tiga tempat
sekaligus; menaklukkan para tukang Doti, namun intelektual sekelas Emha
Ainun Najib meyakini kisah-kisah Imam Lapeo.
Ada banyak nelayan Mandar yang percaya,
bila terhadang badai di tengah laut, mengingat sang panrita untuk
kemudian memanggil namanya adalah salah satu cara menaklukkan badai. Ya,
itulah salah satu bentuk betapa orang Mandar menganggap Imam Lapeo
sebagai ulama berkaramah. Banyak rumah di Mandar memasang fotonya di
dinding rumah.
- H. Muhammad Thahir adalah ulama yang tidak mendakwah dalam lisan saja. Dia juga ulama yang konkrit peranannya. Di tengah masa penuh kesulitan (perang, sarana transportasi yang tidak memadai, penduduk pribumi yang belum mengamalkan Islam). K. H. Muhammad Thahir bermukim di banyak kampung di pesisir Sulawesi Barat, hingga ke Bambang Loka. Menurut hasil pencatatan anak cucunya, setidaknya ada 17 mesjid yang tersebar di pesisir Sulbar yang pembangunannya diprakarsai oleh K. H. Muhammad Thahir. Sepertinya belum ada ulama, tokoh, dan pejabat di Sulbar yang bisa menyamai rekor Imam Lapeo
Menurut beliau sendiri dalam pengakuannnya guru-gurunya adalah:
- Ayahnya sendiri, Muhammad (Penghafal Al-Qur’an)
- Kakenya, Abdul Karim/Sapparaja/Kanne’ Buta (penghafal Al-Qur;an)
- Guru Langgo’ di Pambusuang.
- Guru-guru di pulau Salemo (Pangkep)
- Guru-guru di Pare-Pare antara lain Al Yafi’I (ayahanda Prof. H. M. Ali Al Yafi’)
- Guru-guru di pulau Madura (antara lain K.H. Kholil Bangkalan) dan pulau Jawa.
- Guru-guru di Singapura, Malaka dsb.
- Guru-guru di Padang (Sumatra Barat)
- Habib Sayyid H.M. Alwi bin Sahal Jamalul Lail
- Syekh Hasan Al Yamani
- Dan lain-lain.
Imam Lapeo wafat pada usia 114 tahun,
tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo (sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab.
Polman). Dimakamkan di halaman Masjid Nur Al-Taubah di Lapeo yang
dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo
‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan menaranya yang tinggi). Makamnya,
sampai saat sekarang ini banyak dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat
yang datang dari berbagai daerah (**)
Komentar
Posting Komentar